Ibnu Khaldun mungkin adalah salah satu intelektual yang memberikan kontribusi baru bagi perkembangan ilmu pengetahuan saat itu. Oleh karena itu, tidak salah jika banyak intelektual dan cendekiawan yang menganggapnya sebagai ilmuwan modern. Teori ashabiyah merupakan contoh kehati-hatian dan kecerdasan Ibnu Khaldun dalam menganalisis permasalahan politik dan kebangsaan. Dimana asabiyyah merupakan kunci lahir dan terbentuknya suatu negara.
Sebaliknya jika unsur asabiyah suatu negara melemah maka negara tersebut terancam bangkrut. Alhasil, teori asabiyyah menjadi sumber inspirasi gerakan politik modern.
Mengutip buku Seratus Muslim Luar Biasa karya Jamil Ahmad, Ibnu Khaldun lahir dengan nama lengkap Abdurrahman Abu Zaid yang kemudian mendapat gelar Waliyyuddin. Beliau dilahirkan di Tunisia pada awal Ramadhan 732 H dan meninggal di Kairo, Mesir pada tanggal 25 Ramadhan 808 H.
Ibnu Khaldun adalah seorang tokoh Islam yang luar biasa, pada masanya ia dikenal sebagai peneliti pionir yang memperlakukan sejarah sebagai ilmu dan memberikan alasan-alasan yang mendukung fakta-fakta yang terjadi. Ibnu Khaldun juga terkenal sebagai sarjana sosiologi, ekonomi dan politik serta terlibat dalam politik praktis. Meski terlahir dari keluarga kaya raya, kehidupan mudanya tidaklah mudah. Orang tuanya meninggal ketika dia masih remaja, jadi dia berjuang untuk membangun karier untuk dirinya sendiri.
Ibn-Khaldun menulis beberapa karya, termasuk otobiografi dan "The Muqaddimahandquot; yang terkenal; membuatnya terkenal hingga saat ini. Buku ini tidak pernah kehilangan arti pentingnya, dan para sejarawan telah mengakui pentingnya karya-karya Ibn-Khaldun selama berabad-abad.
Istilah ashabiyah berasal dari bahasa Arab yang berarti semangat kelompok atau partai. Merujuk pada argumentasi Charles Issaw dalam Paradigma Pembangunan Masyarakat karya Wendy Melfa yang menyatakan bahwa ashabiyah merupakan kekuatan pendorong di belakang kekuasaan dan pendukungnya.
Ashabiyah sebagaimana diungkapkan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah adalah kecintaan/fanatisme seseorang terhadap nasab, keluarga, dan golongannya. Perasaan cinta dan kasih sayang muncul secara alami sebagai hakikat manusia, yaitu anugerah dari Tuhan. Karakter ini menunjukkan sikap tolong menolong dan tolong menolong satu sama lain.
Lebih lanjut Ibnu Khaldun mengatakan Ashabiyah berawal dari pengagungan ikatan darah yang merupakan fitrah manusia. Membangkitkan emosi untuk mencegah bahaya atau bencana, orang merasa malu ketika orang atau kerabatnya diperlakukan tidak baik atau diserang. Ini adalah contoh dari dorongan tabiand#039; pada manusia sejak manusia muncul di dunia.
Menurut Ibnu Khaldun, dalam bukunya Muqaddimah, dalam uraiannya tentang peran sosial ashabiyah, ia mengatakan bahwa ashabiyah adalah tatanan sosial yang menyatukan suatu bangsa. Kemudian asabiyyah mempunyai dua peranan dalam masyarakat, yaitu menumbuhkan solidaritas dan kekuatan sosial dalam semangat kelompok dan menyatukan berbagai asabiyyah yang berseberangan menjadi suatu kelompok masyarakat yang besar dan bersatu.
Kemudian asabiyyah merupakan kekuatan politik yang mendorong terbentuknya suatu negara atau dinasti. Ashabiyah membutuhkan seorang pemimpin, yaitu seseorang yang mendapat dukungan dari keluarga dan pengikutnya. Dalam konsep asabiyah tidak semua orang bisa menjadi pemimpin karena kepemimpinan dicapai melalui kemenangan, sehingga asabiyah yang memimpin harus lebih kuat dari asabiyah lainnya untuk mencapai kemenangan. Asabiyah itu tentang kekuasaan.
Alasan Kemunduran Islam Menurut Ibnu Khaldun
Dalam tahapan perkembangan suatu negara, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa masyarakat melewati tahapan yang bertahap. Umur bumi biasanya hanya tiga generasi, salah satunya 40 tahun, sehingga umur bumi hanya 120 tahun. Ketiga generasi tersebut mempunyai lima tahapan yang harus dilalui, yaitu:
1. Tahap penciptaan negara
Tahap pertama ini tercipta hanya melalui asabiyyah (solidaritas sosial). Sebab dengan adanya asabiyyah menjadikan manusia bersatu untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu melindungi diri dan mengusir atau mengalahkan musuh.
2. Tahap sentralisasi kekuasaan
Menurut Ibnu Khaldun, tahapan itu merupakan kecenderungan alamiah pada manusia. Ketika pemimpin melihat bahwa kekuasaannya sudah mengakar, dia mencoba menghancurkan asabiyya, memonopoli kekuasaan dan menyingkirkan anggota asabiyya dari roda pemerintahan. 3. Fase kekosongan dan relaksasi
Menurut Ibnu Khaldun, tahap ketiga ini adalah tahap menikmati buah-buah kekuasaan yang datang bersama fitrah manusia, seperti penumpukan kekayaan, pelestarian peninggalan, dan perolehan kejayaan. Berbagai upaya dilakukan para penguasa seperti memungut pajak, membangun gedung-gedung tinggi dan tinggi.
4. Fase menyerah dan malas
Di sini penguasa menerima apa yang ditetapkan raja-raja terdahulu dan mengikuti apa yang dilakukan penguasa-penguasa terdahulu. Negara saat ini dalam keadaan statis, tidak ada perubahan dan negara seolah berada di akhir cerita.
5. Tahap Runtuhnya Kekuasaan
Pada tahap ini, negara telah memasuki usia tua dan dilanda penyakit kronis yang hampir tidak bisa dihindari. Hingga saat keruntuhan dan kehancuran tiba.
Menurut Ibnu Khaldun, ada dua faktor penyebab terjadinya disintegrasi negara, yaitu hilangnya ashabiyah dan lemahnya sumber daya ekonomi yang kuat. Hal ini akibat dari penguasa yang ingin mengeluarkan uang secara boros sehingga negara mengalami keruntuhan baik secara politik maupun ekonomi.