Niat ibadah sangat kuat dianjurkan oleh agama karena didasarkan pada hadits Rasulullah SAW. Saking kuatnya, niat ini sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan dalam sebuah ibadah termasuk puasa baik wajib maupun puasa sunah. Namun demikian ulama berbeda pendapat soal kedudukan niat.
Sebagian mereka menganggap niat itu sebagai syarat sah sebuah ibadah. Sementara sebagian lainnya mengatakan, bukan syarat. Di samping itu, mereka juga mempertanyakan kapan niat itu dilakukan. Semua pertanyaan berdampak panjang yang akhirnya menentukan sebuah ibadah seseorang.
Dalam konteks puasa, kebsahan ibadah kita akan bergantung sekali pada niat di malam hari. lalu bagaimana dengan keesokan harinya? Apakah orang yang niat puasa sebulan penuh tidak perlu mengulang niatnya setiap malam Ramadhan? Lalu bagaimana orang lupa mengikrarkan niat puasa di malam hari?
Berikut ini merupakan keterangan Syekh Sulaiman Bujairimi dalam Hasyiyah Iqna’
ويشترط لفرض الصوم من رمضان أو غيره كقضاء أو نذر التبييت وهو إيقاع النية ليلا لقوله صلى الله عليه وسلم: من لم يبيت النية قبل الفجر فلا صيام له. ولا بد من التبييت لكل يوم لظاهر الخبر.
Artinya, disyaratkan menjatuhkan niat di malam hari bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa qadha, atau puasa nadzar. Syarat ini berdasar pada hadits Rasulullah SAW, “Siapa yang tidak memalamkan niat sebelum fajar, maka tiada puasa baginya.” Karenanya, tidak ada jalan lain kecuali berniat puasa setiap hari berdasar pada redaksi zahir hadits.
قوله: فلا صيام له أي صحيح لا كامل خلافا للحنفية، فإن نفي الصحة أقرب إلى نفي الحقيقة من نفي الكمال. وقوله خلافا للحنفية فإنهم يجوزون النية في النهار في الفرض والنفل.
Redaksi “maka tiada puasa baginya”, maksudnya tidak sah, bukan tidak sempurna. Pandangan Syafi’iyah ini berbeda dengan pandangan Hanafiyah. Karena menurut Syafi’iyah, menganulir keabsahan itu lebih dekat dengan menganulir puasa itu sendiri, dibandingkan hanya menganulir kesempurnaan puasa.
Sementara “Pandangan Syafi’iyah ini berbeda dengan pandangan Hanafiyah” karena Hanafiyah membolehkan niat di siang hari baik puasa wajib maupun puasa sunah.
Atas perbedaan pendapat di kalangan ulama ini, perlu kiranya kita belajar menenggang. Pasalnya mereka berdasar pada sumber hukum Islam yang sama, yaitu hadits dalam konteks ini.
Para ulama madzhab ini ialah orang-orang yang mendapat bimbingan dari Allah. Meminjam istilah Syekh Abdul Wahhab Asy-Sya’roni dalam Mizanul Kubro-nya, “Ula’ika ‘ala hudan min robbihim. Wa ula’ika humul muflihun.” Wallahu A’lam.
Source:nu.or.id
Tags:
Syari'ah